Contests

Sedigital Apakah Kita?

tree-200795_1280Teman, sadar nggak sih kalau kita sekarang tidak bisa lagi lepas dari internet? Bahkan ada beberapa teman saya yang bilang, lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan gadget. Bisa mati gaya kalau gadget sampai ketinggalan. Di jaman serba canggih sekarang ini, dimana semua bisa dilakukan hanya dengan kekuatan ketukan jari, kita terkadang menggeser hal-hal yang kurang penting, menjadi hal-hal yang penting. Kalau beberapa tahun lalu, mungkin kita masih nyinyir kalau melihat pemandangan sebuah keluarga, duduk di meja food court, Papa, Mama, Kakak, dan Adik, asyik dengan dunia gadgetnya masing-masing sambil menunggu makanan datang. Tapi, sekarang, hal seperti itu menjadi pemandangan wajar sekali, atau bahkan kita juga sering melakukannya. Ah, nggak perlu kecil hati. Toh kualitas hidup keluarga kita, bukannya kita sendiri yang tahu, bukan cuma dihakimi dari pemandangan tersebut.

Segala hal sekarang bisa disediakan dan dilakukan hanya dengan duduk manis di depan komputer atau gadget. Mulai dari belanja keperluan dapur, sampai membeli tiket pesawat. Mulai dari update status di media sosial, sampai melakukan transaksi bisnis, semua sudah bisa dilakukan. Jadi, kemajuan teknologi internet bukannya harus dilawan demi mempertahankan idealisme kita, tetapi sudah selayaknya kita juga ikut berkembang, supaya kita tidak tergerus oleh perubahan.

Beberapa hal dibawah ini adalah hasil pengalaman saya pribadi, dimana saya perhatikan bahwa hal-hal ini hanya terjadi karena adanya gadget dan jaringan internet.

1. Mengajari Kakek dan Nenek Menggunakan Gadget

papa mama
My lovely parents

Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Sudah layak dan sepantasnya kita mengajarkan cara menggunakan smart phone kepada orang tua kita. Supaya komunikasi lebih lancar, supaya Kakek Nenek bisa video call dengan cucunya, atau sekedar menghabiskan waktu membaca portal berita online. Tepat seperti yang Papa Mama saya lakukan sekarang.

Sekarang, mereka berdua sering duduk berdua-duaan di ruang tamu, dan asyik dengan gadget masing-masing. Yang satu sibuk dengan grup sekolahnya dulu, yang satu sibuk membaca semua portal berita online. Mulai dari berita politik, keuangan, sampai gosip selebritis.

Celetukan, “Wifi-nya belum nyala ya?”,“Kata Facebook ya…”, “Kalo Papa baca di wwwdotcom..”, “Aduh, ada-ada aja nih berita”, adalah kalimat-kalimat yang sering saya dengar dari Papa sejak beliau mulai terbiasa dengan gadget beberapa bulan lalu. Saya beri gambaran sedikit tentang Papa saya yang old school. Telepon genggam yang di pakainya mulai 7-8 tahun lalu, hanya dipakai untuk menelpon dan menerima panggilan, mengirim sms, dan memasang alarm. Beliau tidak biasa menggunakan komputer dan tidak terbiasa menggunakan mesin ATM. And, you should look at him now! Mencari video di YouTube, membaca berita di berbagai portal online, membaca status update di akun FB, sambil duduk di tempat favoritnya sambil terkantuk-kantuk, mengisi waktu luang di masa pensiunnya.

2. Selfies

iphone-1283462_1920Menurut techinfographic.com, lebih dari 1 juta foto selfie diambil setiap harinya. Fenomena ini muncul karena kita pada dasarnya adalah mahkluk yang mencintai diri sendiri. Tidak ada yang salah tentunya dengan hal ini. Dulu, mengambil foto diri hanya bisa dilakukan dengan kamera manual, negatif film, dan mencetak. Sekarang, seiring berkembangnya teknologi termasuk gadget dengan kamera makin canggih, mengambil foto diri sendiri bukan lagi menjadi hal yang sulit dilakukan.

Untuk anak ABG seperti adik bontot saya, kegiatan selfie yang dilakukannya sudah dalam tahap yang agak berlebihan. Rasanya setiap menengok ke arah si anak ABG, pose kibas rambut, duck face, fish face, atau apapun namanya, selfie dilakukan dimana saja dan kapan saja. Namanya juga ABG. Sekedar mengingatkan tentu tak ada salahnya, supaya anak-anak tetap berada di koridor norma kepantasan.

Selfie di level emak-emak seperti saya pun, jadi lumrah dilakukan, walaupun tidak melulu dengan pose kibas rambut dan duckface seperti ABG. Biasanya grup emak-emak, lebih senang melakukan wefie (benarkah namanya?) dengan kostum yang sesuai dress code. Mulai dari kegiatan arisan RT yang pergi jalan-jalan, atau rombongan ibu-ibu yang sedang reuni dengan teman sekolahnya dulu. Salahkah? Tentu tidak. Karena di jaman kami sekolah dulu, gadget belum ditemukan. Mengabadikan kegiatan yang menyenangkan pastinya diperlukan untuk bisa dilihat lagi dimasa kita menjadi nenek-nenek bertahun mendatang.

selfiegraphic-infographic-about-selfies_5327657ebe484_w1500

3. Group Chat

people-1099783_640Apakah Anda suka pusing melihat notifikasi yang sampai beribu-ribu di messenger? Tenang, Anda tidak sendiri. Entah karena sukarela ataupun tidak rela, kadang kita suka terjebak dengan rasa sungkan jika sudah dimasukkan ke sebuah grup yang notabene biasa saja, atau group yang anggotanya hanya kita kenal sekedarnya. Mungkin tujuan awal membuat group chat diawali dengan niat baik untuk saling bertukar kabar dan berbagi informasi,  tetapi terkadang jika sudah terlalu lama di grup topik yang dibahas bisa melebar kemana-mana, bergeser dari tujuan semula.

Jika memang kita terlibat secara aktif di group, sudah pasti semua chat yang masuk kita baca. Tetapi, jika hanya menjadi silent member, chat beribu-ribu itu hanya saya tandai marked as read. Saya sendiri merasa tidak enak jika harus keluar grup, takut dibilang sombong atau apalah yang mungkin hanya perasaan saya sendiri. Bukankah lebih baik jika kita ingin memasukkan teman ke sebuah group chat, kita menanyakan yang bersangkutan terlebih dahulu, apakah ia setuju atau tidak. Tapi selama ini, saya merasa dijebloskan ke group yang kita sendiri tidak begitu nyaman ada di dalamnya, tapi juga tidak enak jika kita keluar group tersebut.

Tetapi, group chat juga banyak manfaatnya, baik itu di Facebook, Whatsapp, Line, Telegram, dll, jika memang hati kita ada disana, kenapa tidak. Semakin banyak group juga memperluas network, kan? Jadi kalau memang menguntungkan dan bukan cuma sekedar tempat bertukar gosip, group chat membantu sekali untuk menambah wawasan.

Menurut saya, hidup di jaman serba digital seperi sekarang ini, kita harus bisa untuk lebih mawas diri. Sedigital apapun hidup kita, hubungan antar personal di dunia nyata tetap tidak tergantikan. Sentuhan dan tatap mata masih belum bisa digantikan oleh sekedar teks atau emoticon. Sudah sepantasnyalah kita melihat ke dalam diri kita sendiri, mengukur tingkat ketergantungan kita sendiri terhadap gadget dan internet, supaya tidak tenggelam di dunia maya, dan mengesampingkan dunia nyata. So, how digital are you?

rm banner

Tulisan ini diikutsertakan pada lomba Menulis Konten Viral Digital Lifestyle di RockingMama

13 thoughts on “Sedigital Apakah Kita?

  1. Huahahaha… Kalo aku, kalo aku… Hmmmm gimana ya? Bentar2 buka fb, bentar2 buka imel. Pergi kemana2 pesen grab. Mau belanja buka e-banking. Jadi kira2…. Hm hm hm *ga mau ngaku

    Liked by 1 person

  2. aku pernah puasa gadget, rasanya emang enak banget. Tapi gimana ya, pas on lagi ya gitu.. udah seabrek-abrek janji menanti dipenuhi.
    Btw, blognya kian fresh bu 🙂

    Like

  3. setuju banget sama2 kata2 ini group chat membantu sekali untuk menambah wawasan, berarti aku belum begitu digital…masih merasa aman kalo beberapa jam nggak pengang gadget,

    Like

    1. Ya..perlu tekad untuk membiasakan diri untuk tidak selalu nyari gadget tiap ada kesempatan.
      Terima kasih sudah mampir mba nur rochma.

      Like

Leave a comment